Minggu, 12 Agustus 2012

-->
DISKURSUS SEJARAH KETERTINDASAN
MASYARAKAT INDONESIA
Peta: Hindia-Belanda
(George McTurnan, 1995: 5)
Sejarah Rakyat Indonesia adalah Sejarah Ketertindasan. Gelora reformasi yang terjadi
sekarang, telah melupakan hakikat ketertindasan karena seolah-olah setelah kita
mendapatkan kebebasan politik atau demokrasi politik, maka ketertindasan struktural
berupa kesengsaraan dan kebodohan pun tidak terjadi lagi. Dengan kebebasan politik
itu, seolah-olah rakyat pastilah akan mencapai kebahagiaan.
“Revolusi adalah penggulingan kekuasaan pemerintah yang sah serta penghapusan
konstitusi pemerintah oleh kelas sosialis yang bertujuan mengubah struktur sosial
masyarakat” (Pakar Marxis Prof. Dr. Herberth Marcuse,
Guru Besar Universitas Harvard)
“Revolusi harus tahu mana lawan mana kawan, Aku cinta kaum nasionalis tetapi kaum
nasionalis yang revolusioner, Aku cinta kaum agama tetapi kaum agama yang
revolusioner, Aku cinta komunis tetapi kaum komunis yang revolusioner”
(Ir. Soekarno, McTurnan, 1995: 622)
Arti kemerdekaan dapat kita refleksikan dari para tokoh kemerdekaan Indonesia
sebagai berikut; Ki Hajar Dewantara menulis; “Dalam pendidikan harus senantiasa
diingat bahwa kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelstandig), tidak
tergantung pada orag lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijeid,
zelfsbeschikking).” Kalau istilah Belanda itu diterjemahkan kedalam jargon yang lebih
dikenal sekarang, maka ketiga komponen kemerdekaan itu ialah self-reliance,
independence, dan self-determination. Sukarno lebih menekankan independence, yaitu
terlepasnya Indonesia dari penguasaan oleh suatu bangsa dan penguasaan asing.
Hatta dan Syahrir lebih menekankan self-reliance yaitu otonomi setiap individu dalam
memutuskan apa yang harus dikerjakan. Tan Malaka selepas sekolah guru di Harlem,
Belanda, memilih menjadi guru untuk anak-anak para kuli kontrak di perkebunan Deli,
melihat kemerdekaan sebagai self-determination, yaitu kesanggupan setiap kelompok
sosial menentukan nasibnya sendiri dan tidak menggantungkan peruntungannya pada
kelompok sosial lainnya. Perbedaan tekanan itu menjadi lebih jelas kalau dilihat dari
hubungan dengan apa yang hendak ditentang. Kemerdekaan sebagai independence
secara telak menolak penjajahan. Kemerdekaan sebagai self-reliance membatalkan
ketergantugan. Sedangkan kemerdekaan sebagai self-determination
menampik segala jenis penindasan dan pembodohan.
Hand-Out 01
SEJARAH INDONESIA
Prasejarah
Secara geologi, wilayah Indonesia modern muncul kira-kira sekitar Zaman
Pleistocene ketika wilayah itu masih berhubung dengan Asia Daratan. Pemukim
pertama wilayah tersebut yang diketahui adalah manusia Jawa pada masa sekitar
500,000 tahun yang lalu. Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk
pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es.
Era sebelum Penjajahan
Sejarah Awal
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau Kerajaan
Jawa Dwipa Hindu di pulau Jawa dan Sumatera pada sekitar 200 SM. Kerajaan
Taruma menguasai Jawa Barat pada sekitar tahun 400, dengan agama Buddha tiba di
wilayah tersebut pada tahun 425. Pada Zaman Pembaharuan Eropa, Jawa dan
Sumatera telah mempunyai warisan peradaban yang berusia ribuan tahun dan
sepanjang dua buah kerajaan besar.
Kerajaan Hindu-Buddha
Berawal dari abad ke-4 di Kerajaan Kutai tepatnya di Kalimantan Timur
merupakan Kerajaan Hindu pertama di Nusantara. kemudian perkembangan berlanjut
antara abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddhisme Sriwijaya berkembang pesat
di Sumatera. I Ching, penjelajah China, mengunjungi ibu kotanya di Palembang pada
sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh
Jawa Barat dan SemenanJunig Tanah Melayu. Abad ke-14 juga memperlihatkan
kebangkitan sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Antara tahun 1331
hingga tahun 1364, Gadjah Mada, patih Majapahit, berhasil menguasai wilayah yang
kini merupakan sebagian besarnya Indonesia bersama-sama hampir seluruh
Semenanjung Melayu. Warisan dari zaman Gadjah Mada termasuk pengekodan
undang-undang dan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam roman kesateriaan
Ramayana.
Kerajaan Islam
Islam tiba di Indonesia pada sekitar abad ke-12 dan melalui bercampur bebas,
menggantikan agama Hindu sebagai agama yang terutama pada akhir abad ke-16 di
Jawa dan Sumatera; hanya Bali yang tetap mempertahankan majoriti penganut
Hindunya. Di kepulauan-kepulauan di timur, paderi-paderi Kristian dan ulama-ulama
Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17 dan pada saat ini, adanya
sebagian yang besar penganut kedua-dua agama ini di kepulauan-kepulauan tersebut.
Penyebaran Islam didorong oleh hubungan perdagangan di luar Nusantara; umumnya
para pedagang dan ahli kerajaanlah yang pertama menganut agama baru tersebut.
Kerajaan-kerajaan yang penting termasuk Mataram di Jawa Tengah, serta juga
Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku Timur.
Era penjajahan
Penjajahan Portugis
Penjajahan Syarikat Hindia Timur Belanda
Mulai tahun 1602, Belanda memanfaatkan diri dengan perpecahan antara
kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit, dan beransur-ansur
menjadi penguasa wilayah yang kini merupakan Indonesia. Satu-satunya yang tidak
terpengaruh adalah Timor Portugis yang tetap dikuasai oleh Portugal sehingga tahun
1975 ketika ia bergabung dengan Indonesia untuk dijadikan salah sebuah provinsi
dengan nama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun
kecuali dua waktu yang singkat, yakni ketika sebagian kecil dari Indonesia dikuasai
oleh Britain selepas Perang Jawa Britain-Belanda, serta semasa penjajahan Jepang
pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan
Hindia-Belanda menjadi salah satu kuasa penjajah yang terkaya di dunia. Bagi
sebagian orang, penjajahan Belanda selama 350 tahun adalah mitos belaka karena
wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian selepas Belanda mendekati daerah
jajahannya. Pada abad ke-17 dan abad ke-18, Hindia-Belanda tidak dikuasai secara
langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh syarikat perdagangan yang bernama
Syarikat Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie
atau VOC ). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan kegiatan
penjajah di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602, dengan ibu
pejabatnya di Batavia yang kini dinamai Jakarta.
Tujuan utama Syarikat Hindia Timur Belanda adalah untuk mempertahankan
monopolinya terhadap perdagangan rempahnya di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui
penggunaan ancaman kekerasan terhadap para penduduk di kepulauan-kepulauan
penanaman rempah, dan terhadap orang-orang bukan Belanda yang mencoba
berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan
Banda terus menjual buah pala kepada pedagang Inggris, angkatan tentara Belanda
membunuh atau mengusir hampir seluruh penduduknya, dengan pembantu-pembantu
atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala kemudian dihantar untuk tinggal di
pulau-pulau tersebut sebagai ganti. Syarikat Hindia Timur Belanda menjadi terlibat
dalam politik dalaman Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa
peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Penjajahan Belanda
Selepas Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) menjadi muflis pada akhir
abad ke-18 dan selepas penguasaan United Kingdom yang singkat di bawah Thomas
Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih pemilikan SHTB pada tahun
1816. Belanda berjaya menumpaskan sebuah pemberontakan di Jawa dalam Perang
Diponegoro pada tahun 1825-1830. Selepas tahun 1830, sistem tanam paksa yang
dikenali sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mula diamalkan. Dalam sistem
ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan
pasaran dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dan sebagainya. Hasil-hasil tanaman itu
kemudian dieksport ke luar negara. Sistem ini memberikan kekayaan yang besar
kepada para pelaksananya-baik orang Belanda mahupun orang Indonesia. Sistem
tanam paksa ini yang merupakan monopoli pemerintah dihapuskan pada masa yang
lebih bebas selepas tahun 1870.
Pada tahun 1901, pihak Belanda mengamalkan apa yang dipanggil mereka
sebagai Politik Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek) yang termasuk
perbelanjaan yang lebih besar untuk mendidik orang-orang pribumi serta sedikit
perubahan politik. Di bawah Gabenor JenderalJ.B. van Heutsz, pemerintah Hindia-
Belanda memperpanjang waktu penjajahan mereka secara langsung di seluruh Hindia-
Belanda, dan dengan itu mendirikan asas untuk negara Indonesia pada saat ini.
Gerakan Nasionalisme
Pada tahun 1908, Budi Utomo, gerakan nasionalis yang pertama, ditubuhkan,
diikuti pada tahun 1912 oleh gerakan nasionalis besar-besaran yang pertama, Sarekat
Islam. Belanda membalas dengan langkah-langkah yang menindas selepas Perang
Dunia I. Para pemimpin nasionalis berasal dari sekumpulan kecil yang terdiri dari para
profesional muda dan pelajar, mereka itu dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang
dipenjarakan karena kegiatan politik mereka, termasuk juga Sukarno, presiden
Indonesia yang pertama.
Perang Dunia II
Pada awal Perang Dunia II dalam bulan Mei 1940, Belanda diduduki oleh Nazi
Jerman, dan Hindia-Belanda mengumumkan keadaan berjaga-jaga. Pada bulan Juli,
Hindia-Belanda mengalihkan eksport untuk Jepang ke Amerika Syarikat dan Britain.
Perundingan-perundingan dengan Jepang tentang pembekalan bahan api kapal
terbang gagal pada bulan Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara
pada bulan Desember tahun tersebut. Pada bulan yang sama, Sumatera menerima
bantuan Jepang untuk memulai pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda.
Angkatan tentara Belanda yang terakhir dikalahkan oleh Jepang pada bulan Maret
1942.
Pendudukan Jepang
Pada bulan Juli 1942, Sukarno menerima tawaran Jepang untuk membentuk
pemerintahan yang juga dapat memberikan jawapan kepada keperluan-keperluan
tentara Jepang. Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagus Hadikusumo diberipangkat
dan jabatan oleh maharaja Jepang pada tahun 1943. Tetapi pengalaman Indonesia
dari penguasaan Jepang amat berbeda-beda, bergantung kepada tempat duduk
seseorang serta status sosialnya. Bagi mereka yang tinggal di daerah yang dianggap
penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, penganiayaan seks kanakkanak,
penahanan sembarangan dan hukuman mati, serta kejahatan-kejahatan perang
yang lain. Orang Belanda dan orang campuran Indonesia-Belanda merupakan sasaran
yang utama untuk kezaliman pada zaman penguasaan Jepang di Indonesia.
Pada bulan Maret 1945, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Dalam keputusan pertamanya pada bulan Mei,
Soepomo menyatukan negara dan membantah individualisme; sementara itu,
Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus menuntut
Sarawak, Sabah, Tanah Melayu, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda
sebelum perang. Pada 9 Agustus 1945, Sukarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat
terbang ke Vietnam untuk bertemu dengan Marsyal Terauchi. Akan tetapi mereka
diberitahu bahwa angkatan tentara Jepang sedang menuju ke arah kehancuran.
Walaupun demikian, Jepang berkeinginan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24
Agustus .
Era Kemerdekaan
Persiapan Kemerdekaan
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk
membuat keputusan seperti di atas, Sukarno membaca "Naskah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia" pada hari berikutnya, yaitu 17 Agustus 1945. Berita
tentang pelaksanaan kemerdekaan disebarkan melalui radio dan risalah, sementara
angkatan tentara Indonesia, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), serta para pemuda
dan lain-lainnya berangkat untuk mempertahankan kediaman Sukarno.
Pada 29 Agustus 1945, kumpulan tersebut melantik Sukarno sebagai
Presiden Indonesia, dengan Mohammad Hatta sebagai wakilnya, melalui lembaga
yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara sehingga pilihanan umum dapat
dijalankan. Lembaga tersebut menjalankan pemerintahan baru pada 31 Agustus,
dengan Republik Indonesia terdiri dari 8 buah provinsi, iaitu:
1. Sumatera
2. Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak, dan Brunei)
3. Pulau Jawa, iaitu Jawa Barat Jawa Tengah, dan Jawa Timur
4. Sulawesi
5. Maluku (termasuk Irian Barat/Papua)
6. Nusa Tenggara.
Perang Kemerdekaan INDONESIA: ERA 1945-1949
Teks Proklamasi
Antara tahun 1945 hingga tahun 1949, persatuan laut Australia yang
bersimpati dengan usaha kemerdekaan Indonesia melarang segala pelayaran Belanda
pada sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai sebarang dukungan logistik
mahupun bekalan yang diperlukan untuk memulihkan kekuasaan penjajahannya di
Indonesia.
Usaha-usaha Belanda untuk kembali berkuasa menghadapi pertentangan
yang hebat. Selepas kembali ke Jawa, angkatan tentara Belanda segera merebut
kembali ibu kota Batavia, dengan akibat bahwa para nasionalis menjadikan Yogyakarta
sebagai Ibu Negara mereka. Pada 27 Desember 1949, setelah empat tahun
peperangan dan perundingan, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan
kepada pemerintah Persekutuan Indonesia. Pada tahun 1950, Indonesia menjadi
anggota ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Demokrasi Parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia meluluskan undang-undang baru yang
mencipta sebuah sistem demokrasi parlementer yang dewan eksekutifnya dipilih oleh
parlemen atau MPR dan bertanggungjawab kepadanya. MPR pada mula-mula terdiri
dari partai-partai politik sebelum dan selepas pilihan raya umum yang pertama pada
tahun 1955 sehingga pemerintahan yang stabil tercapai. Peranan Islam di Indonesia
menjadi masalah yang rumit, dengan Sukarno cenderung memilih sebuah sistem
pemerintahan sekular yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok
Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang terdiri dari syariat
Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau yang lain
yang dimulakan sejak tahun 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan
sebuah perlembagaan yang baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya
pada tahun 1959, ketika Presiden Sukarno pada dirinya sendiri mengembalikan
perlembagaan 1945 yang bersifat sementara dan yang memberikan kuasa presiden
yang besar kepadanya, beliau tidak menghadapi pertentangan.
Antara tahun 1959 hingga tahun 1965, Presiden Sukarno memerintah melalui
sebuah rejim yang autoritarian di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Beliau juga
mengejar hubungan luar negeri, suatu langkah yang disokong oleh para pemimpin
utama di negara-negara bekas jajahan yang juga menolak ikatan yang resmi dengan
Blok Barat maupun Blok Kesatuan Soviet. Para pemimpin tersebut mengadakan
Persidangan Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 untuk mendirikan
asas yang kelak menjadi Negara-negara Non-Blok (NAM).
Pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an, Sukarno bergerak
lebih rapat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia
(PKI) di dalam negeri. Meskipun PKI merupakan partai komunis yang terbesar di dunia
di luar Kesatuan Soviet dan China, orang ramai tidak menunjukkan sokong`n kepada
ideologi komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Sukarno menentang pembentukan Persekutuan Malaysia karena menurut
beliau, ini merupakan sebuah "rancangan neo-kolonialisme" yang bertujuan untuk
melanjutkan keinginan perdagangan pihak Inggris di wilayah tersebut. Masalah ini
kemudian mengakibatkan pertempuran antara Indonesia dengan Malaysia dan United
Kingdom.
Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan
kekuasaannya terhadap bahagian barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkahlangkah
yang menuju ke arah pemerintahan sendiri serta persiapan kemerdekaan
pada 1 Desember 1961. Perundingan-perundingan dengan Belanda terhadap
penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dengan pasukan-pasukan
laskar terjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum
kemudian terjadi pertempuran antara angkatan-angkatan tentara Indonesia dan
Belanda pada tahun 1961 sehingga tahun 1962. Pada tahun 1962, Amerika Syarikat
menekan Belanda agar setuju dengan perbincangan-perbincangan rahasia dengan
Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dengan
Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Sehingga tahun 1965, PKI telah menguasai banyak perserikatan besarbesaran
yang dibentuk oleh Sukarno untuk memperkuat dukungan terhadap rejimnya.
Dengan persetujuan dari Sukarno, pertubuhan-pertubuhan tersebut memulai untuk
membentuk "Angkatan Kelima", dengan mempersenjatai para pendukungnya. Pihak
tertinggi dalam angkatan tentara Indonesia menentang masalah ini. Pada 30
September 1965, enam orang jenderal kanan dan beberapa orang yang lain dibunuh
dalam sebuah percobaan perebutan kekuasaan yang disalahkan kepada para
pengawal istana yang taat setia kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan
Darat saat itu, Mejar Jenderal Suharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik
melawan PKI. Suharto kemudian mempergunakan keadaan ini untuk mengambil alih
kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang yang dituduh sebagai komunis kemudian
dibunuh. Jumlah korban pada tahun 1966 mencapai setidaknya 500.000 dengan
pengorbanan yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
Era Orde Baru
Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Suharto untuk waktu lima tahun
sebagai presiden Indonesia. Beliau kemudian dilantik kembali secara berturut-turut
pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Suharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatik mengubah dasar-dasar luar
negeri dan dalam negeri dari jalan yang diikuti oleh Sukarno pada akhir
kepresidenannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai
tujuan utamanya dan membubarkan struktur yang dikuasai oleh tentara atas nasihat
dari ahli-ahli ekonomi didikan Barat. Selama waktu pemerintahannya, dasar-dasar ini
dan eksploitasi sumber alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang pesat namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang
kelaparan amat dikurangkan pada dekade-dekade 1970-an dan 1980-an.
Bagaimanapun, beliau juga memperkaya diri, keluarga, dan rakan-rakan rapatnya
melalui amalan rasuah yang menular.
Irian Jaya
Setelah menolak pengawasan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
pemerintah Indonesia menjalankan "Tindakan Pilihan Bebas " (Act of Free Choice ) di
Irian Jaya pada tahun 1969 yang memilih 1,025 orang ketua daerah Irian untuk dilatih
dalam bahasa Indonesia. Mereka akhirnya memilih untuk bergabung dengan
Indonesia. Sebuah ketetapan Perhimpunan Agung PBB kemudian mengesahkan
perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan
Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun
berikutnya selepas perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam suasana yang lebih
terbuka selepas tahun 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang
menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Sejak dari tahun 1596 sehingga tahun 1975, Timor Timur adalah sebuah
jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenali sebagai Timor Portugis dan dipisahkan
dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat Revolusi Anyelir di Portugal,
penjabat Portugal secara mendadak berundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam
pilihan raya tempatan pada tahun tersebut, Partai Fretilin, sebuah partai yang dipimpin
sebagiannya oleh orang-orang yang menyokong faham Marxisme, bersama-sama
UDT, menjadi partai-partai yang terbesar, selepas sebelumnya membentuk organisasi
untuk berkampanye agar memperoleh kemerdekaan dari Portugal.
Pada 7 Desember 1975, angkatan tentara Indonesia masuk ke Timor Timur.
Indonesia yang mempunyai dukungan senjata dan diplomatik, dibantu peralatan
persenjataan yang disediakan oleh Amerika Syarikat dan Australia, berharap bahwa
dengan memiliki Timor Timur, mereka akan memperoleh tambahan sumber minyak
dan gas asli serta lokasi yang strategis. Pada peringkat awal, Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200,000 orang penduduk Timor Timur
melalui pembunuhan langsung, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak
pelanggaran HAM yang terjadi semasa Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri
dari Indonesia dalam sebuah pungutan suara yang dijalankan oleh PBB. Sekitar 99%
penduduk yang berhak memilih turut serta; 75% memilih untuk merdeka. Setelah
keputusan pungutan suara diumumkan, angkatan tentara Indonesia dengan segeranya
melanjutkan pemusnahan di Timor Timur, umpamanya pemusnahan infrastruktur di
daerah tersebut. Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang
menggabungkan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, dan Peralihan PBB
(UNTAET) mengambil alih tanggungjawab untuk memerintah Timor Timur sehingga
kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002.
Krisis ekonomi
Suharto mengumumkan peletakan jabatannya didampingi B.J. Habibie. Pada
pertengahan tahun 1997, Indonesia dilanda oleh krisis keuangan dan ekonomi Asia
(baca: Krisis Keuangan Asia), disertai kemarau yang terburuk dalam waktu 50 tahun
terakhir dan harga-harga minyak, gas asli dan komoditi-komoditi eksport yang lain
yang semakin jatuh. Nilai rupiah jatuh, inflasi meningkat, dan perpindahan modal
dipercepat. Unjuk rasa yang dipimpin oleh para mahasiswa mendesak peletakan
jabatan Suharto. Di tengah-tengah kekacauan yang meluas, Suharto meletakkan
jabatan sebagai presiden Indonesia pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya. Suharto kemudian memilih penggantinya, B. J. Habibie, untuk menjadi
presiden ketiga Indonesia.
Era Reformasi
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie dengan segera membentuk sebuah kabinet, dengan salah
satu tugas yang utamanya memperolehan dukungan dari luar negeri untuk rancangan
pemulihan ekonominya. Beliau juga membebaskan para tahanan politik dan
melonggarkan kawalan terhadap kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilihan umum untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999,
dengan Partai PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri, anak
perempuan Sukarno, muncul sebagai pemenang dalam pilihan raya parlemen dengan
mendapatkan 34%; Golkar (partai Suharto yang sebelumnya selalu merupakan
pemenang dalam pemilu) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan
Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden
dan Megawati sebagai wakil Presiden untuk waktu lima tahun. Wahid membentuk
kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan
melakukan rombakan kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokrasi dan
perkembangan ekonomi di bawah keadaan-keadaan yang berlawanan. Di samping
ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi
konflik antara kelompok-kelompok etnik dan antara agama-agama, khususnya di Aceh,
Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan oleh rakyat Timor Timur
yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang diakibatkan oleh para
orang militan Timor Timur pro-Indonesia menimbulkan masalah-masalah kemanusiaan
dan sosial yang besar. MPR yang semakin menentang kebijakan Presiden Wahid,
menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Dalam MPR pertama pada bulan Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan
laporan pertanggungjawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan penunjuk perasaan
menyerbu MPR dan mendesaknya agar meletakkan jabatan atas alasan
keterlibatannya dalam skandal. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki
pemerintahannya, beliau mengumumkan keputusan yang memberikan kekuasaan
negara sehari-hari kepada Megawati, wakil presidennya. Megawati mengambil alih
jabatan presiden tidak lama kemudian.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada tahun 2004, pemilu diadakan, dengan Susilo Bambang Yudhoyono
tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal jabatannya
menghadapi pengalaman yang pahit seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada
Desember 2004 yang membinasakan sebagian Aceh serta gempa bumi di Sumatera
pada bulan Maret 2005. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil
dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan
untuk mengakhiri konflik yang berpanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.[]
Hand-Out 02
SEJARAH INDONESIA (1945-1949)
Indonesia: Era 1945-1949 dimulai dengan m`suknya Sekutu diboncengi oleh
Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri
dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi
kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa
sejarah lainnya.
1945: Kembalinya Belanda bersama Sekutu
Latar belakang
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara
sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang
pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah
pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah
dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya
di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia
sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian
Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di
bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia
Barat Daya (South West Pacific Area Command/ SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap
Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan
tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command)
bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina.
SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia
Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian
tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War
and Internees/ RAPWI).
Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama
tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku
wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil
Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland
Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr.
Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato
siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi
kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno
yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu
menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di
antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan
Ratu Belanda.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan
NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran
yang terjadi di antaranya adalah:
1. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
2. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
3. Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa
Timur
4. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik
Agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis
28
Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia saat itu) yang makin
memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan
menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota.
Meninggalkan Sjahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api, yang
disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa
rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari gerbonggerbong
luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang
diselenggarakan diluar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa
ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbonggerbongnya
dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api
(DKA) untuk VVIP.
1946: Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah
satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi
parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu
sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai
kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis
dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan
dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia
(dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan
antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir
dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang
selama pemerintahan Jepang.
Diplomasi Syahrir
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan
Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan
(Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann, yang
berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno
yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada
siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti
Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr
Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van
Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem
pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum
perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir
Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember
1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda
atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan
memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil
Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia,
yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan
sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang
dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang
dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas.
Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil
kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan
bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi
rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan
keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia
yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia
menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik
sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat
dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu
Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu: "mau mengakui Republik
sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi
10 Februari". Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto
Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan
pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu
bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook,
menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai
kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar
tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh
diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang
kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda
dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik
sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini
dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik
mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada
van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada
tanggal 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumbersumber
yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh
Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang
akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia
menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan de
facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Sjahrir
Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad
SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di
alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk
pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir,
akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap
surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir,
yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir
diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa.
Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang
pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon
setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta.
Ia mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan
keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik
Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946,
untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan
lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya. Tanggal 3
Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14 Agustus 1946,
Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.
Kembali menjadi PM
Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri, Sjahrir
kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan
dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi
dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang
seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya
dengan siapa saya membentuk kabinet."
Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia,
keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur
Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino,
Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia
masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947: Peristiwa Westerling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan
rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale
Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947
selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah
halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu
Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara
dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang
netral seorang komisi khusus Inggris, Loard Killean. Bertempat di bukit Linggarjati
dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri,
dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya
sebagai berikut :
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus
meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu
bagiannya adalah Republik Indonesia
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia -
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah
Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara
demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya
menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan
Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri,
pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat
akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul
dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke
pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di
Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya
Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya
persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang
bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan Linggarjati
Parade Tentara Republik Indonesia (TRI) di Purwakarta, Jawa Barat, pada
tanggal 17 Januari 1947. Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M
Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite
Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati
yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946
akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang
Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu
yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui
partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan
PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang
pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti
Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta
kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki
satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang
kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah
RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25
Maret 1947, ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden
Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946.
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani
di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang
Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan
kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan,
maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda
berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa,
memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara
baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru
eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara
Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang
Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota
yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk
menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun
menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan
bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu
tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul
oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh karena itu
untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari
Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus
dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah
yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah
daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama);
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor.
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan
Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini
mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus
"mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947
tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi
polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah
menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak
dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan
dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan
yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda
menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunanperkebunan
di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar
Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak
mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada
bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana
Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam
menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak
mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka
hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini
menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda,
termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu
pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang
menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda
untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir
adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu
untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo
untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua.
Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir
Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih
merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena
loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk
menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang
tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan
pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah
politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir
Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana
Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin
ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
1948: Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas
desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1
Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang
terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi
perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang
Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima
oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang
mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi
atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan
untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung
dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan
Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah
Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih
terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa
Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap
daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan
wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda
menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak
"menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan
sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui
perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia
dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini
kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi
lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana
Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung
jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai Perdana Menteri
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville
menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam
kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika
Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan
jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan
pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang
beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika
Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu
'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya
dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam
kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan
tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi
pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para
pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir
dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan
Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam
bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian
Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya
empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948,
Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan
susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri
sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir
sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari
sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa
pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan
Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatra Barat, di kota kelahiran
Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta
berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia
tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya.
Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam
hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak
ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah
tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura
dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai
dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku
dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat
tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga
menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek". Dipermalukan
seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir
untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua
belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh
Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948,
Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan
itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulangulang.
1948-1949: Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan
terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno,
Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini
menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang
dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan
kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan
menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda
bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik
Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta dipimpin oleh
Letnan Kolonel Soeharto dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan
Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional
Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah
Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23
Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.
Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Bung Hatta di Amsterdam, Belanda menandatangani perjanjian penyerahan
kedaulatan. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949,
selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan)
ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada
kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja
mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.[]
Hand-Out 03
SEJARAH REVOLUSI INDONESIA
Pecahnya Revolusi
Desas-desus bahwa Jepang harus, atau akan mengadakan kapitulasi dengan
Sekutu memicu aksi beberapa organisasi bawah tanah yang telah bersepakat untuk
bangkit melawan Jepang bila Sekutu, mendarat. Bahkan pada tanggal 10 Agustus
1945, setelah mendengar siaran radio yang kebetulan tidak disegel oleh pemerintah
militer Jepang bahwa Jepang sudah memutuskan untuk menyerah, Sjahrir mendesak
Hatta agar dia bersama Soekarno, segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia,
dan meyakinkannya, bahwa dia akan didukung para pejuang bawah tanah dan banyak
unit Peta. Sepulangnya Soekarno dan Hatta dari Dalat pada tanggal, 14 Agustus,
Sjahrir memberitahukan mereka bahwa Jepang sudah minta diadakan gencatan
senjata dan sekali lagi berusaha mendesak mereka memproklamirkan kemerdekaan.
Soekarno dan Hatta yang belum begitu yakin bahwa Jepang telah menyerah, merasa
bahwa kelompok-kelompok bawah tanah belum lagi mampu menghimpun kekuatan
untuk mengalahkan Jepang, dan khawatir bila hal ini mengakibatkan pertumpahan
darah yang sia-sia.
Namun demikian, Sjahrir yang percaya bahwa Soekarno bersedia segera
memproklamirkan kemerdekaan dengan deklarasi kemerdekaan berisi kata-kata
sangat anti-Jepang yang telah disiarkan Sjahrir dan kawan-kawannya, segera
mengorganisir kelompok-kelompok bawah tanah dan pelajar Jakarta untuk
mengadakan demonstrasi umum dan kerusuhan-kerusuhan militer. Tembusan dan
deklarasi kemerdekaan mereka yang anti-Jepang itu sudah dikirim ke semua pelosok
pulau Jawa untuk segera diterbit begitu Soekarno memproklamirkan kemerdekaan
yang diharap bakal terlaksana pada tanggal 15. Setelah persiapan-persiapan mulai
dilakukan, menjadi jelas bahwa Soekarno dan Hatta tidak bersedia memproklamirkan
kemerdekaan pada tanggal 15. Sjahrir tidak dapat menghubungi semua pemimpin
organisasinya pada waktu yang tepat untuk memberitahukan pembatalan ini.
Revolusipun meletus secara terpisah di Cirebon pada tanggal 15 di bawah Dr.
Sudarsono, tetapi berhasil dipadamkan oleh Jepang.
Soekarno dan Hatta masih berharap untuk menghindari pertumpahan darah,
sedangkan kelompok-kelompok bawah tanah mengikuti tuntutan Sjahrir untuk segera
memproklamirkan kemerdekaan berdasarkan syarat-syarat yang begitu anti-Jepang
sehingga menuntut seluruh rakyat Indonesia harus berbaris di belakangnya untuk
secara mendadak bersama-sama menggulingkan Jepang. Sementara itu, gerakan
bawah tanah pimpinan Soekarni yang didukung oleh sejumlah kelompok Persatuan
Mahasiswa telah kehilangan kesabaran, dan pada tanggal 16, jam 4.00 pagi, mereka
menculik Soekarno dan Hatta untuk dibawa ke garnisun Peta di rengasdengklok. Di
sana mereka meyakinkan Soekarno dan Hatta, bahwa Jepang sudah benar-benar
menyerah. Kemudian mereka berusaha mendesak keduanya untuk segera
memproklamirkan kemerdekaan. Soekarni berkeras bahwa ada 15.000 pemuda
bersenjata di sekitar pinggiran kota Jakarta yang siap masuk kota begitu proklamasi
diucapkan. Soekarno dan Hatta yakin bahwa kekuatan bersenjata yang dikatakan
Soekarni itu jumlahnya dibesar-besarkan, dan bahwa Jepang dengan mudah dapat
menumpas usaha semacam itu. Jelas mereka merasa bahwa ada kemungkinan
Jepang mau memahaminya dan karenanya tidakakan menentangnya dengan kekuatan
militer. Demi menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu, setidak-tidaknya
mereka ingin memastikan dulu sikap para pejabat militer Jepang sebelum
menggerakkan pemberontakan rakyat. Lebih-lebih lagi, keduanya merasa bahwa
setiap deklarasi harus benar-benar meliputi seluruh penduduk Indonesia, karena itu,
harus dilaksanakan lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan yang mewakili seluruh
rakyat Indonesia. Menurut mereka, dengan cara itu seluruh rakyat Indonesia akan
bangkit bersama-sama menegaskan kemerderdekaan, dan akan lebih banyak
kesempatan menggerakkan penduduk cara berhasil melawan Jepang. Suatu rapat
panitia tersebut direnungkan akan diadakan pada tanggal 17, jam 10.00 pagi, dan
kemudian mereka mengusulkan untuk memproklamirkan kemerdekaan; Sementara itu,
Jepang sudah mengetahui perihal penculikan itu, dan Subardjo yang punya hubungan
dekat dengan kelompok Soekarni pergi ke Rengasdengklok, jelas sepengetahuan
Mayeda, atau setidaknya juga para pejabat militer Jepang, untuk membujuk Soekarni
dan para pemimpin mahasiswa itu kembali dengan Soekarno dan Hatta ke Jakarta. Ini
meyakinkan Soekarno dan Hatta bahwa Jepang mengetahui rencana besar tentang
proklamasi kemerdekaan itu, dan mereka menjadi lebih percaya bahwa kekuatan
bersenjata Indonesia di pinggiran ibu kota itu tidak memadai dan sejak itu mereka tidak
terpikir lagi untuk mengadakan serangan mendadak.
Begitu kembali ke Jakarta pada tanggal 16 tengah malam Hatta segera
mengadakan hubungan dengan tangan-kanan Panglima Angkatan perang Jepang di
Jawa. Pejabat ini memberitahukannya bahwa menurut syarat-syarat penyerahan
Jepang, Jepang hanya "menjadi agen sekutu", dan bahwa mereka sama sekali tidak
mungkin menyetujui suatu deklarasi kemerdekaan oleh orang Indonesia. Jadi jelaslah
bagi Hatta dan Soekarno, bahwa pertumpahan darah tidak mungkin dan cara yang
disarankan oleh Sjahrir, Sukarni, Wikana dan pemimpin gerakan bawah tanah lainnya
adalah satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian Sjahrir menemui
Soekarno dan memperoleh janji dari Soekarno untuk memproklamasikan
kemerdekaan; akan tetapi ia tidak dapat memperoleh jaminan dari Soekarno bahwa
proklamasi itu akan dilakukan dengan syarat-syarat yang sangat anti-Jepang seperti
yang disarankan Sjahrir dan kelompoknya.
Orang Jepang sekarang sudah waspada, dan gerakan-gerakan semua
pemimpin Indonesia diawasi dengan ketat. Suatu tema rapat yang bebas dari matamata
Kempetai sangat penting. Sekitar tengah malam, Hatta menghubungi Marsekal
Muda Mayeda yang mau menyediakan rumahnya untuk dipakai sebagai tempat rapat
kaum nasionalis. Mayeda meninggalkan rumahnya dan pada tanggal 17, jam 2.00
pagi, Soekarno dan Hatta mengadakan pertemu dengan Panitia Persiapan dan
Subardjo, Wikana serata Sukami untuk merencanakan suatu proklamasi kemerdekaan.
Setelah berdebat lama, teks proklamsi ditentukan, dan pada tanggal 17 Agustus 1945
pagi, Soekarno membacakan proklamasi itu di hadapan sekelompok kecil di depan
rumah pribadinya. Segera setelah bersama pesan pribadi Hatta kepada sahabatsahabat
nasionalis proklamasi itu disiarkan di seluruh radio Domei Indonesia jaringan
telegraf oleh para pegawai Indonesia di balik pintu terkunci kantomya di Jakarta
(Batavia).
Revolusi Indonesia sudah dilancarkan, dan mendapat reaksi hebat di seluruh
pelosok Nusantara, meskipun tidak segera diketahui di Jakarta. Jepang cepat
mengadakan reaksi. Atas perintah panglima militer Jepang di Jawa, Mayeda beserta
seluruh stafnya ditangkap, dan pengumuman kemerdekaan yang dikirimkan lewat pos
ke seluruh pelosok kota dirobek oleh Kempetai. Pada hari berikutnya, Jepang
mengumumkan pembubaran Peta, Hei Ho dan semua organisasi Indonesia bersenjata.
Namun demikian, jelas bahwa para pejabat Jepang semula ragu-ragu tentang
tindakan apa yang harus mereka ambil terhadap soekarno dan Hatta. Pada tanggal 19,
didorong oleh kelompok-kelompok bawah tanah, kedua pemimpin ini mengadakan
rapat raksasa yang dihadiri oleh orang-orang Indonesia yang antusias di lapangan
pusat Jakarta yang luas. Rapat ini berusaha dicegah oleh tank-tank dan mobil-mobil
bersenjata Jepang, dan keinginan mereka yang pertama adalah menangkap Soekarno
dan Hatta. Namun demikian, makin besarnya entusias kerumunan rakyat yang besar
semakin banyak itu menyebabkan mereka berubah pikiran. Soekarno berpidato di
depan massa secara singkat dengan kata-kata yang moderat, tetapi tetap pada
tuntutan akan kemerdekaan. Soekarno kemudian menghimbau puluhan ribu orang
Indonesia yang mendengarkan pidatonya itu untuk meninggalkan lapangan secara
diam-diam dan pulang dengan damai ke rumah masing-masin. Mereka menurut. Tidak
ada yang dapat dilakukan Jepang, kecuali terkesan pada demonstrasi kekuatan yang
terkendali ini.
Dimana jumlah mereka tidak terlalu sedikit, unit-unit Peta di seluruh wilayah
luas di Jawa menolak perintah Jepang untuk meniggalkan senjatanya. Mereka
mempertahankan senjatanya bertempur dengan Jepang, dan di beberapa tempat,
mereka sendiri melucuti unit-unit tentara Jepang. Garnisun Jepang memang dapat
pertahankan kekuasaan militernya di kota-kota yang lebih besar, akan tetapi di daerahdaerah
yang mulai dikuasai kelompok-kelompok kelompok bersenjata Indonesia, Peta,
atau unit-unit organisasi pemuda yang sudah memperoleh senjata dari formasi kecil
Jepang, baik secara paksa atau dalam banyak hal karena komandannya merasa
gentar dan menyerah, bahkan kadang-kadang menyerah begitu saja. Bendera
kebangsaan Indonesia dilarang oleh Jepang. Akan tetapi Soekarno yang menganggap
bendera itu simbol revolusioner, memerintahkan untuk dikibarkan di semua gedung
umum. Para pemuda Indonesia mulai mempertaruhkan nyawanya untuk mengibarkan
bendera tersebut. Ini jelas memancing pertempuran dengan Jepang yang segera
berusaha menurunkannya. Dalam waktu enam minggu, bendera yang merupakan bukti
nyata simbol kemerdekaan itu, sudah berkibar di setiap gedung umum di Jawa. Para,
mahasiswa yang menjadi ujung tombak revolusi itu, memimpin para pemuda yang
ditarik dari organisasi-organisasi pemuda yang disponsori Jepang, dan bersama
mereka merebut senjata dari orang-orang Jepang, menyeret para perwira Jepang
keluar mobil mereka mengusir para fungsionaris Jepang dari gedung-gedung
pemerintahan dan secara umum menjadi kekuatan pendorong utama belakang
Republik baru yang dipimpin Soekarno itu.
Komandan militer Jepang menjadi bingung. Perintah-perintah yang diterima
dari Allied Southeast Asia Command jelas menyuruhnya mempertahankan status quo
politiknya hingga pasuka Sekutu mengambil alih. Namun mereka percaya, dan
Soekarno berjuang mati-matian untuk menambah keyakinannya, bahwa setiap usaha
menekan Republik yang baru saja diproklamirkan itu di pergerakan kebangsaan yang
mendukungnya, akan berakibat suatu pertempuran berdarah yang hebat. Orang
Jepang mungkin saja memenangkan pertempuran semacam itu, tetapi harus dibayar
dengan korban yang besar. Hingga kedatangan pasukan Sekutu pada akhir bulan
September, kebijakan Jepang tidak pasti, maju-mundur, dan penuh kompromi, serta
berusaha menghindari konfrontasi dengan revolusi Indonesia. Mereka pada umumnya
takut terang-terangan menentang pembetukan suatu pemerintah Indonesia, tetapi
dengan lebih bersemangat berusaha menghentikan pertumbuhan kekuat militer
Indonesia.
Pembentukan suatu pemerintah untuk Republik yang baru saja diproklamirkan
itu berlangsung dengan cepat. Pada rapat yang pertama tanggal 18 Agustus 1945,
Panitia Persiapan Kemedekaan menambah enam anggotanya, Subardjo, Kasman
Singodimejo (komandan garnisun Peta di Jakarta), Sukami, Wikana dan Chaerul
Saleh. Panitia yang makin besar, itu memilih Soekarno dan Hatta masing-masing
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Panitia ini menunjuk suatu
komisi yang terdiri dari tujuh orang-Soekarno, Hatta, Profesor Soepomo, Subardjo,
Otto Iskandar Dinata, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. Wongsonegoro—untuk
mengadakan perubahan-perubahan terakhir dan diperlukan dalam Undang-undang
Dasar Negara, yang sebagian besar sudah disusun selama bulan terakhir sebelum
kapitulasi Jepang. Dalam waktu satu minggu, konsep terakhir Undang-undang Dasar
Indonesia sudah diselesaikan, dan meskipun sepenuhnya dianggap sementara, segera
disebarluaskan. Dengan diberikannya ruang yang luas bagi perubahan sosial ekonomi,
maupun politik, undang-undang dasar itu segera menjadi suatu simbol kekuasaan
besar yang revolusioner, suatu pertanda hari cerah setelah digulingkannya kekuasaan
asing.
Suatu simbol revolusioner yang lebih meluas, simbol revolusioner yang
mengandung persamaan dan persaudaraan, adalah rasa panggilan yang
diperkenalkan oleh Soekarno yang segera menjadi populer di seluruh Republik
Indonesia. Kata Bung paling tepat diterjemahkan sebagai "Saudara", dan dalam arti
kasar bisa dibandingkan dengan kata "citizen (rakyat)" dalam Revolusi Perancis kalau
"kamrad" di Rusia. Kata ini diambil dari bahasa Indonesia dialek jakarta, abang, atau
kakak laki-Iaki (kata ini juga umum dipakai di Jawa Timur). Namun demikian, sebutan
ini tidak membedakan Antara kakak laki-laki atau adik laki-laki. Gagasan yang
dikandungnya mungkin paling dapat dianggap sebagai suatu sintesa dari "saudara
revolusioner", "saudara nasionalis Indonesia", dan "saudara Republiken". Tua dan
muda, kaya dan miskin. Presiden dan petani boleh dan biasanya saling memanggil
dengan sebutan ini. Seorang pengunjung restoran memanggil pelayan dengan kata
"bung", orang menteri kabinet atau petani Indonesia yang paling miskin menyebut
Presiden Soekarno sebagai "bung Karno".
Kepala-kepala departemen di bawah pemerintah Jepang segera mengakui
pemerintah yang baru. Bersama dengan beberapa orang pilihan baru—Soekarno dan
Hatta serta orang-orang yang telah bekerja dengan Jepang (seperti Subarjo), begitu
pula yang tidak bekerja dengan jepang (seperti Amir Sjarifuddin dan Ir. Suraehman—
mereka menyusun kabinet pertama Republik baru itu. Suatu kabinet di bawah Undangundang
Dasar bertanggung jawab kepada Soekarno, Presiden. Berikut ini adalah
keanggotaan kabinet pertama Republik Indonesia (31 Agustus, 1945 -14 November,
1945) :
1. Menteri Luar Negeri - Mr. Achmad Subardjo
2. Menteri Dalam Negeri - E.A.A. Wiranata Koesoema
3. Menteri Kehakiman - Profesor Soepomo
4. Menteri Bidang Ekonomi - Ir. Suraehman
5. Menteri Keuangan - Dr. Samsi
6. Menteri Pendidikan - Ki Hajar Dewantoro
7. Menteri Sosial - Mr. Iwa Kusuma Sumantri
8. Menteri Penerangan - Mr. Amir Sjarifuddin
9. Menteri Kesehatan - Dr. Buntaran Martoatmojo
10. Menteri Perhubungan - Abikusno Tjokrosujoso
11. Menteri Negara (tanpa potfolio) - Dr. Amir
12. Menteri Negara (tanpa potfolio) - Wachid Hasjim
13. Menteri Negara (tanpa potfolio) - Mr. Sartono
14. Menteri Negara (tanpa potfolio) - Mr. Sartono
15. Menteri Negara (tanpa potfolio) - Mr. A.A. Maramis
16. Menteri Negara (tanpa potfolio) - Otto Iskandar Dinata
17. Menteri Negara (tanpa potfolio) - Soekardjo Wirjopranoto.
Setelah tanggal 1 Sepetember 1945, kepala-kepala departemen yang dulu
bekerja di bawah pemerintahan Jepang, dan orang-orang baru yang dipilih oleh
Soekarno dan Hatta sebagai kepala departemen, diberi mandat sebagai menteri
Republik. Soekarno membuat dekrit bahwa semua pegawai negeri Indonesia harus
tidak mengacuhkan perintah-perintah dari Jepang, dan hanya patuh ke perintah
pemerintah Republik saja. Departemen-departemen dikepalai oleh para menterinya
segera menerima dukungan hampir semua personil pemerintah Indonesia. Tanpa
personlia pemerintah Jepang tidak dapat berfungsi. Waktu itu pengaruh militer di
pusat-pusat pedesaan yang besar memang dapat dipertahankan oleh Jepang, tetapi
mereka tidak berdaya mencegah masuknya fungsionaris-fungsionaris yang mau
bekerja untuk Republik.
Pada tanggal 29 Agustus, Panitia Persiapan Kemerdekaan dibubarkan oleh
Soekarno dan diganti dengan Komite Nasional Indonesia Pusat yang kemudian dikenal
sebagai KNIP. Komite ini hanya bertugas sebagai suatu badan penasehat Presiden
dan kabinetnya. Tidak mempunyai fungsi dalam perundang-undangan. Dengan
bantuan Hatta, Soekarno menunjuk 135 orang (termasuk bekas anggota PPKI) yang
dianggap sebagai nasionalis terkemuka dan pemimpin paling penting kelompok utama
etnis, agama, sosial dan ekonomi di Indonesia sebagai anggota badan baru itu.
Keduanya tidak hanya memilih tokoh-tokoh politik yang dapat diandalkan, tetapi juga
pria dan wanita yang hampir semuanya menjadi pemimpin terkemuka masyarakat
Indonesia yang disukai dan didukung banyak orang. Dengan suatu dekrit yang
dikeluarkan oleh PPKI pada tanggal 19 Agustus, Indonesia sudah dibagi menjadi
delapan provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Soekarno memilih seorang Gubernur untuk
masing-masing provinsi dari kalangan penduduk setempat, dan KNIP memberi mandat
kepada salah seorang anggota dari masing-masing daerah untuk membentuk KNI
(Komite Nasional Indonesia) di setiap provinsi guna membantu para gubernur dalam
menjalankan pemerintahan. Dengan cepat terbentuklah KNI setempat secara spontan
di tingkat distrik maupun kotapraja. Selama suatu periode yang lama, komite-komite
setempat yang revolusioner berfungsi sebagai kekuatan pemerintah yang sebenarnya
di daerah masing-masing. Semula daerah-daerah itu diatur menurut kehendak
pemimpin setempat yang diakui, tetapi kemudian sejak akhir bulan November, diatur
menurut suatu pola peraturan yang seragam. Di Jawa dan Madura, dengan suatu akta
Pemerintah tanggal 23 November 1945, dibentuklah badan penasehat semacam itu di
semua karesidenan, distrik, kota-praja, dan wilayah-wilayah seperti yang ditunjuk oleh
Menteri Dalam Negeri. (Pada tanggal 30 Oktober, Sultan Yogya mendekritkan
pembentukan badan penasehat yang serupa di wilayahnya sendiri). Menjelang tahun
1946, di mana keadaan dianggap memungkinkan, KNI dibentuk berdasarkan pemilihan
setempat.
Pada tanggal 29 Agustus, pemerintah yang baru itu mulai mengorganisir
suatu angkatan perang. Berdasarkan unit-unit Peta yang dipersenjatai, dan dari
jenjang beberapa organisasi pemuda, dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat)
yang bermarkas besar di Jakarta. Unsur pokok tentara yang bebas terorganisir ini
terdiri dari unit-unit yang sangat otonom dan pada dasarnya bebas bergabung karena
punya suatu basis wilayah dan di masing-masing daerah tergantung pada berbagai
derajat pengawasan KNI yang bertugas mengurus pemeliharaan dan pengadaannya.
Mulai tanggal 5 Oktober 1945, nama angkatan perang nasional diubah dari BKR
menjadi TKR atau Tentara Keamanan Rakyat?) Selama beberapa bulan berikutnya,
unit-unit unsur pokoknya, diatur dari pusat dengan derajat pengawasan yang lebih
besar tetapi sering tidak efektif. Unit-unit BKR segera terlibat dalam perjuangan
revolusioner. Mereka membantu merebut gedung-gedung pemerintah dari orang.
Jepang dan menangkap mereka yang menolak untuk meninggalkan gedung-gedung
tersebut.
Pertempuran yang tak menentu antara orang Jepang dan Indonesia terjadi
makin sering dan makin luas sepanjang bulan September. Usaha-usaha orang
Indonesia untuk menguasai senjata, Jepang dan memadamkan perlawanan Jepang
terhadap penguasa sipil Indonesia menimbulkan makin banyak lagi pertempuran
Pasukan Inggris yang pertama mendarat di Jakarta pada tanggal 2 September 1945,
tepat ketika usaha orang Indonesia merebut kekuasaan militer dan sipil dari Jepang
sedang memuncak. Selama di minggu pertama bulan Oktober, terjadi pertempuran
hebat antar, pasukan Indonesia dan pasukan Jepang untuk menguasai kota-toko
Bandung, Carut, Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya Pasukan Indonesia
dapat menguasai sementara kota Bandun Carut, dan Surabaya, serta berhasil
sepenuhnya menguasai kota Yoyakarta hingga tanggal 19 Desember 1948. Pasukan
Inggris memasuki kota Semarang pada tanggal 19 Oktober setelah pasukan Indonesia
mengorbankan sekitar 2.000 orang untuk menumpas habis garnisun Jepang.
Tugas pasukan Ingrris yang baru datang itu sangat berat. Instruksi-instruksi
kepala Staf Sekutu yang dijabarkan oleh Lord Mountbatten, panglima Sekutu untuk
Asia Tenggara, menyuruhnya menerima penyerahan kekuatan bersenjata Jepang,
membebaskan. tawanan perang Sekutu dan tahanan sipil, serta melucuti. dan
mengumpulkan orang ]epang sehingga siap untuk dikirim kembali ke ]epang. Di
samping itu, mereka harus membentuk dan menjalankan keamanan dan ketertiban di
Indonesia, sampai pemerintah Hindia Belanda sudah dapat berfungsi sendiri. Tentu
saja instruksi terakhir ini disebabkan karena sekutu kurang mengerti kejadian-kejadian
di Indonesia. Para perwira Inggris di Jawa dan Sumatra, dan perwira Australia di
bagian-bagian Sulawesi dan Sunda Kelapa, terikat pada instruksi-instruksi yang
berdasarkan syarat-syarat yang tidak lagi absah terhadap kondisi-kondisi di Hindia
Belanda. Pasukan Inggris dan Australia yang mendarat di Indonesia pada bulan
Oktober, 1945, menghadapi suatu situasi dalam keadaan tidak siap sama sekali. Di
kebanyakan daerah, di Jawa dan Sumatra khususnya, pemerintah sipil sudah berjalan
dengan derajat efisiensi yang tidak mengherankan pasukan Sekutu.
Soekarno dan Hatta mengeluarkan suatu perintah umum untuk tidak
berurusan dengan pasukan Inggris, dan kelompok-kelompok mahasiswa pergi ke
lapangan untuk menjelaskan keadaan itu kepada unit-unit Jibaku, dan mengawasi
kalau-kalau mereka melakukan tindakan-tindakan tidak bertanggungjawab.
Bagaimanapun juga, tidak hanya Jibaku, tetapi semua orang Indonesia menjadi curiga
terhadap tujuan-tujuan Inggris. Tanggal 29 September, Laksamana Patterson,
komandan garis belakang Skuadron Tempur Kelima Inggris, mengumumkan bahwa
pasukan-pasukan Sekutu datang untuk melindungi rakyat dan untuk "memulihkan
keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang berwenang
berfungsi kembali". Katanya, hukum Belanda harus diterapkan dan ditingkatkan oleh
para pejabat pemerintah Belanda di Jawa yang hanya akan tunduk kepada perintah
yang diberikan oleh Laksamana Mountbatten. Pada hari yang sama, Letnan Jendral Sir
Philip Christison, panglima Sekutu untuk Hindia Belanda, mengumumkan bahwa
pasukan-pasukan Jepang di Jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. Pengumuman ini segera diikuti oleh pendaratan kontinenkontinen
kecil pasukan Belanda di bawah perlindungan Inggris. Soekarno dan para
pemimpin Republik lainnya berkali-kali memperingatkan Inggris untuk menghentikan
pendaratan-pendaratan yang dilindunginya itu. Mereka meyakinkan bahwa penduduk
Indonesia yang sudah curiga dan menentang pengumuman Patterson dan Christison,
pasti akan menganggap kedatangan pasukan Belanda itu sebagai petunjuk positif dari
suatu keinginan menggulingkan Republik itu dan kembalinya status penjajahan di
Indonesia. Para pemimpin Indonesia: khawatir bila reaksi umum terhadap realisasi ini
akan menimbulkan penganiayaan terhadap beribu-ribu tawanan Belanda yang masih
ditahan dalam kamp-kamp konsentrasi Jepang.
Setiap keragu-raguan yang masih ada di pihak pendudu Indonesia terhadap
keinginan Belanda, dengan cepat menjadi kepastian oleh kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah Belanda dan pasukan-pasukan kolonial Belanda. Pengamat
militer Amerika Serikat yang termasuk staf Jendral Christison, Mayor F.B. Crockett
menyatakan:
Berbarengan dengan kedatangan ]endral van Dyen, di jalan-jalan (Jakarta)
mulai tampak barisan patroli Belanda dan Ambon (serdadu KNIL) yang getol
menembak. Mereka menembak segala yang tampak mencurigakan, dan bila
tidak ada yang dapat dijadi sasaran, mereka tidak segan-segan merampas
rumah penduduk, dan tanpa tuduhan atau peringatan, menyeret keluar
beberapa atau seluruh penghuninya ..... " Insiden-insiden" itu meningkat.
Kaum nasionalis mendapat perintah bahwa setiap perlawanan dari pihak
mereka akan ditumpas oleh para penguasa. Untuk mencegah ..... , Soekarno
memerintahkan agar semua orang Indonesia menyingkir dari jalan-jalan di
Batavia pada malam hari. Menjelang jam 8.00 malam, jalan sudah kosong
kecuali barisan patroli Belanda yang mondar-mandir. Ini adalahcontoh
mengesankan cara Soekarno memerintah rakyat .
Aktivitas semacam itu secara efektif merongrong kemungkinan pelaksanaan
kebijakan non intervensi dalam hubungan politik antara Republik dan Belanda yang
diharapkan Let. Jen. Chritison dapat dijalankannya setelah mengetahui keadaan
setempat. Analisis Mayor Crockett tentang situasi ini dan keprihatinan yang timbul
dalam hatinya, juga dirasakan oleh para pemimpin Republik. Menurut Crockett:
Dari apa yang saya lihat, jelas bagi saya bahwa ditinjau dari sudut
pengumuman Inggris tentang tidak campur tangan secara politik, Belanda
akan berusaha dan terus berusaha agar Inggris tidak bisa melepaskan diri
dengan merangsang ketidaktenteraman di kalangan penduduk pribumi.
Kekurangajaran patroli Belanda itu tidak dapat dije1askan dengan akal sehat.
Apa yang bakal mereka peroleh dari taktik-taktik semacam itu sudah jelas:
mereka akan membuat Inggris terlalu sibuk sehingga tidak sempat melucuti
]epang (ini adalah alasan utama kedatangan mereka ke sini, dan mereka akan
memaksa Inggris memasukan lebih banyak lagi pasukan ke dalam wilayah itu.
Ini berarti Inggris akan lebih banyak lagi terlibat. Aktivitas paukan-pasukan
Belanda seperti itu, yaitu bahwa mereka terus mendarat di bawah perlindungan
Inggris, dan pengumuman-pengumuman Inggris yang kurang tegas, secara bersamasama
menunjukkan kepada kebanyakan orang Indonesia, bahwa pernyataan tegas
kemerdekaan mereka sedang ditantang dasini memancing reaksi mereka yang tajam.
Djibaku tidak dapat lagi ditahan. Unit-unitnya dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok
tempur yang kecil dan hal ini segera diikuti oleh berbagai unit pemuda bersenjata, yang
mengadakan serangan keras terhadap patroli Belanda dan lnggris. Dalam beberapa
kasus, biasanya di mana Barisan Pelopor terlibat, sasaran serangan-serangan itu,
tidak terbatas kepada pasukan-pasukan asing, tetapi meluas hinggga para tahanan sipil
Belanda yang tidak bersenjata, termasuk wanita dan anak-anak. Berbarengan dengan
itu, semua unit orang Indonesia bersenjata meningkatkan usaha mereka merebut
senjata dan kekuasaan dari ]epang.
Komando Sekutu kini memberi prioritas utama kepada usaha pemulihan
keamanan dan ketertiban di bawah kekuasaan Inggris di kota-kota besar dan
pelabuhan-pelabuhan di jawa dan Sumatera, dan perlucutan jepang akan dipikirkan
nanti. Komando Sekutu memerintahkan para komandan Jepang untuk menyerang dan
merebut kembali kota-kota yang sudah dikuasai orang Indonesia seperti Bandung.
Dipakainya pasukan jepang oleh Sekutu untuk melawan Republik selanjutnya
mendorong orang Indonesia untuk melawan Inggris sekaligus Belanda, dan
memperkuat kecurigaan mereka bahwa Indonesia ingin dikembalikan kepada status
penjajahan lagi. Selama bulan November dan Desember, pertempuran yang luas dan
terus menerus berkobar di hampir seluruh ]awa dan banyak wilayah Sumatera dan
Bali. Pertempuran paling hebat terjadi selama paruh pertama bulan November di
Surabaya di mana beberapa organisasi pemuda Indonesia yang bebas bergabung di
bawah BKR bertempur melawan satu setengah divisi pasukan Inggris dan India
selama 10 hari dan menderita korban yang sangat besar.
Meskipun Inggris dilengkapi dengan pesawat-pesawat terbang dan meriam
dalam pertempuran mereka di pelabuhan dan setelah pertempuran yang lama dan
pahit akhimya berhasil menguasai kota, perang itu tetap dan masih dianggap suatu
kemenangan oleh orang Indonesia, karena pertempuran di Surabaya merupakan suatu
titik balik dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Ini merupakan suatu demonstrasi di
hadapan Inggris tentang kekuatan berperang dan kesediaan mengorbankan jiwa raga
yang ada di balik gerakan yang sedang ditentang Inggris itu. Ini menyadarkan Inggris
akan adanya kenyataan bahwa Republik itu didukung oleh massa Indonesia, tidak
secara apatis, tetapi secara positif dan entusias. Pertempuran di Surabaya
menyadarkan Inggris secara mengejutkan, akan kenyataan bahwa jika rnereka tidak
bersedia ke Indonesia rnencurahkan kekuatan tentara dan perlengkapan yang jauh
lebih besar ke Indonesia, mereka harus meninggalkan kebijakan-kebijakan mereka
yang sebelumnya dan mencari tempat berpijak yang sama dengan para pemimpin
Republik. Setelah ini menjadi jelas bagi Inggris, maka mereka mulai menunjukkan
ketidaksenangan mereka terhadap penolakan Belanda untuk berurusan dengan
Republik, dan dengan keras mendesak mereka mengadakan perundingan yang
mungkin pada akhirnya akan membawa kompromi seeara damai. Jadi, bersama
dengan contoh-contoh lain tentang perlawanan orang Indonesia, Pertempuran di
Surabaya membuka jalan bagi diadakannya perundingan-perundingan diplomatik
selama tahun 1946 dan awal tahun 1947 antara Belanda dan Indonesia.
Selama periode selanjutnya, pertempuran sama sekali tidak berhenti, tetapi
keadaanya yang umum dan intensitasnya sangat berkurang dibandingkan dengan
yang terjadi selama 10 minggu terakhir tahun 1945. Di ]awa dan Sumatera, Inggris dan
kemudian Belanda, membatasi hampir semua operasinya hanya di daerah-didaerah
yang mereka kuasai sekitar Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Padang,
Medan, dan Palembang. Di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kelapa, Belanda
tidak menemui banyak kesulitan di hampir semua wilayah dan segera memasukkan
(cukup pasukan untuk mengambil alih tugas pasukan Australia yang mudah melucuti
pasukan Jepang yang menguasai daerah itu.
Namun demikian, Bali, daerah Minahasa di Sulawesi Utara, dan Sulawesi
barat daya, merupakan perkecualian. Pertempuran antara pasukan Belanda dan
Republik terus berlangsung di Bali hingga pertengahan tahun 1948. Perlawanan
Republik di Sulawesi barat daya yang padat penduduknya itu begitu alot hingga
Belanda I harus mencari takti-taktik yang paling brutal untuk memenangkannya. Pada
awal tahun 1946, Belanda menugaskan Kapten Westerling I yang kejam itu untuk
"menenteramkan" wilayah itu; sejumlah besar orang Indonesia, sipil maupun
gerilyawan, dicurigai dan dengan tuduhan yang dicari-cari dibunuh oleh pasukan
tembaknya. Para penguasa Republik menegaskan bahwa hampir 30.000 orang Indonesia
dibunuh dengan cara ini dan dalam pertempuran. Sumber tidak resmi militer
Belanda menyatakan bahwa hanya 4.000 orang yang menjadi korban. Pemerintah
Belanda mengirim suatu komisi Unluk meneliti kebrutalan di pihak tentara Belanda,
tetapi tidak pernah ada laporan yang dikeluarkan. Kebanyakan pempimpin yang
memberikan perlawanan tetapi tidak terbunuh, dimasukkan ke dalam penjara. Lebih
dari seperempat penguasa bangsawan Indonesia di Sulawesi Barat daya (termasuk
tokoh mereka yang paling penting) disingkirkan oleh Belanda dan diganti dengan
orang-orang yang dipercaya lebih dapat loyalitasnya. Dengan demikian maka bagi
yang masih berkuasa, ini peringatan bahwa kedudukan mereka, tergantung pada
dukungan mereka kepada kebijakan Belanda.
Di Minahasa, pada bulan Februari 1946, serdadu KNIL Indonesia
memberontak melawan Belanda, menyatakan memihak Republik, dan dengan bantuan
penduduk sipil setempat, berhasil berkuasa selama satu bulan. Kecuali beberapa
periode gencatan senjata yang semuanya sangat pendek kecuali satu, empat tahun
Hand-Out 04
PKI, ANARKISME DAN AKUMULASI KETERTINDASAN
Prawacana
Sejarah Rakyat Indonesia adalah Sejarah Ketertindasan. Gelora reformasi
yang terjadi sekarang, telah melupakan hakikat ketertindasan karena seolah-olah
setelah kita mendapatkan kebebasan politik atau demokrasi politik, maka ketertindasan
struktural berupa kesengsaraan dan kebodohan pun tidak terjadi lagi. Dengan
kebebasan politik itu, seolah-olah rakyat pastilah akan mencapai kebahagiaan.
Setelah diselenggarakan pemilu bebas, seolah-olah rakyat langsung akan
bisa makan, bisa bekerja, menyekolahkan anak, mendapat keadilan hukum dan
sebagainya. Itulah gegap gempitanya rdformasi yang pada akhirnya akan
menenggelamkan kesadaran rakyat untuk memperbaiki kualitas kehidupannya.
Bahkan tidak sedikit kaum terpelajar yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia telah
keluar dari ketertindasan sejak runtuhnya benteng kekuasaan Orde Baru.
Akumulasi Kekecewaan Masyarakat
Akumulasi kekecewaan masyarakat dan hilangnya figur yang kredibel
menyebabkan pergolakan konflik horizontal kian meluas. Pasca Reformasi di
Indonesia banyak terjadi benturan-benturan kepentingan dalam masyarakat secara
transparan tanpa lagi mengindahkan kaidah-kaidah umum perundang-undangan dan
hukum yang mengatur sehingga banyak menimbulkan guncangan-guncangan sosial
dimasyarakat.
Kondisi riil yang terjadi ditengah-tengah masyarakat saat ini cenderung
anarkis, ketika rakyat baru terbebas dari pembungkaman massal, beralih kepada masa
kebebasan dalam menyerukan seluruh aspirasinya terkait kepentingan individual atau
golongan. Anarkisme saat ini sering terjadi dan seolah-olah telah membudidaya
dimasyarakat Indonesia, terbukti dengan adanya tindakan-tindakan kekerasan yang
terjadi pada seluruh perseteruan diseluruh lapisan masyarakat, konflik horizontal
seperti pengerusakkan tempat ibadah, pemblokingan aktivitas partai politik yang
dianggap berbahaya, penyegelan tempat-tempat yang dianggap menjadi tempat
penyebaran ajaran sesat seperti kasus toko buku Ultimus di Bandung dll. Sehingga
seluruh perseteruan tidak lagi menemukan solusi secara damai.
Menurut Yudi Latief seorang pemikir negara dan kenegaraan dari Universitas
Paramadina Jakarta, mengungkapkan: “Sebenarnya pada masa krisis ini, rakyat
mencari kepastian-kepastian apalagi ketika situasi hukum tidak berjalan mulus dan
biasanya punya imbas keras terhadap keyakinan kepercayaan, yang kemudian rakyat
mencari pemimpin-pemimpin panutan yang kira-kira bisa mengkompensasikan
kelemahan-kelemahan hukum yang ada”. Hukum dan peraturan tidak lagi dihiraukan,
tokoh-tokoh masyarakat setempat tidak lagi dapat berperan sebagai mediator untuk
melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Apa yang sebenarnya
terjadi dalam tradisi masyarakat Indonesia pasca reformasi, dimana yang diandalkan
hanya kekuatan otot, dan apa yang sebenarnya juga terjadi terhadap peran serta para
tokoh-tokoh masyarakat yang tidak lagi mendapat kepercayaan dimata masyarakat.
Krisis kepercayaan dalam masyarakat saat ini telah menjadikan masyarakat
yang apatis terhadap sesama, bahkan terhadap para tokoh masyarakat itu sendiri.
Permasalahan lebih lanjut yakni masyarakat yang kurang dalam segi pendidikan
apalagi masalah perpolitikan, kebanyakan akan menilai pemimpin dari sisi kharismatik
yang membuat itu akan menjadi suatu sosok ideal dan akhirnya menjadi patronase.
Keadaan masyarakat yang terpatron ini dapat dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang
berkepentingan dengan memanfaatkan kekuatan konspiratif. Ia menanggapi bahwa “di
masa-masa krisis biasanya tokoh-tokoh kharismatik itu tumbuh meyakinkan bahwa
dirinya sendiri sebagai alternatif terhadap hukum, jadi pemimpin yang fundamental ini
memberikan semacam karang yang stabil ditengah ketidakpastian hidup masyarakat
itu.” ungkapnya. Namun para tokoh dan pemimpin dalam masyarakat yang mengalami
kegagalan dalam mewujudkan keinginan rakyat ini sangat berpengaruh bagi
masyarakat yang akhirnya membuat masyarakat mencari pemimpin panutan, yang
sekiranya dapat mengkompensasikan kelemahan hukum yang ada. Pemimpin adil
yang diharapkan menjadi alternatif itu ternyata memunculkan fenomena pemimpin
kharismatik yang seolah-olah dapat menjawab permasalahan akan kekosongan hukum
yang memberi kepastian. Bagaimana dengan kekuatan dari klan tradisional, yang dulu
menjadi sumber keteladanan bagi rakyat. Menurutnya basis-basis tradisional yang diisi
oleh tokoh keagamaan, kiai, ulama mulai susut oleh karena krisis yang juga bisa
dikonsepsikan dengan urusan ekonomi yang akhirnya peserta tradisional ini pudar
akan keteladanan. Secara otomatis saat ini hanyalah bersisa pada pola-pola baru
pemimpin karbitan tak lain memberikan interpretasi keagamaan yang terputus, tetapi
memberikan jaminan atas kepastian. Untuk hal ini Yudi Latief menilai figur baru ini
tidak harus produk pesantren atau produk dengan pemahaman keagamaan yang
mendalam, yang akhirnya kharismanya terbatas dan tidak efektif mempengaruhi
banyak massa. “orang yang terbatas secara spiritual dan intelektual ya daya
pengaruhnya juga pasti terbatas”. imbuhnya.
Dampak lain sebagai contoh yakni menipisnya toleransi antar umat beragama
dibandingkan dahulu pada zaman Majapahit terkenal dengan sikap toleran yang kental
antar umat Hindu dan Budha. Tentunya hal yang harus diperhatikan ialah faktor pada
tataran masyarakatnya. Clifford Geertz menyebut hal ini dengan mix tide yakni aspek
perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat seperti perbedaan agama dapat dinetralisasi
karena kesamaan aspek sosial seperti kesamaan suku, kelas sosial, atau
latar belakang pendidikan. Semakin banyaknya unsur kesamaan tersebut dapat
menjauhkan bahkan meredam potensi konflik yang ada. Persoalan ditingkat grass root,
seperti dalam kasus kekerasan pada masyarakat, yang harus diperhatikan lebih dahulu
ialah bagaimana aparat penegak hukum itu sendiri, apakah telah sesuai dengan
perundang undangan, ketegasan dan konsistensi dalam melakukan tindakan hukum
terhadap mereka yang bersalah.
Pakar ilmu pemerintahan Universitas Gadjah Mada AAGN Dwipayana menilai
bahwa budaya kekerasan timbul karena terdapat ruang atau peluang penggunaan
cara-cara anarkis tersebut. “Masyarakat juga meniru kekerasan yang dilakukan oleh
negara selain karena ada ruang untuk melakukan hal tersebut, dan belakangan
fenomena munculnya kekerasan dikarenakan struktur yang menindas ketika orang
ditindas oleh struktur, maka orang bisa melawan apapun caranya termasuk dengan
kekerasan,” ungkapnya.
Ia menggarisbawahi yakni terdapat dua hal, pertama karena mereka meniru
negara yakni aparat yang melakukan kekerasan. Kedua karena masyarakat ditutup
ruangnya untuk melakukan pembelaan terhadap negara “mau tidak mau masyarakat
harus melakukan tindakan kekerasan tersebut untuk membela dirinya” jelasnya.
Keadaan chaos dalam masyarakat yang berdampak tumbuh suburnya tindakan
anarkis merupakan efek dari krisis negara tersebut akibat pada kekuatan konspiratif
(pejabat, militer, pengusaha, politisi, dll) gagal dalam kedewasaan mereka berpolitik.
Kekuatan tersebut mempunyai kekuatan resonansi sosiologis yang kuat sehingga
menyebabkan guncangan pada masyarakat grass root.
Konflik horizontal dalam masyarakat seolah tak terhindarkan diperpuruk
dengan situasi minus kepemimpinan yang seharusnya menjadi alternatif pada
kosongnya hukum dalam memberi kepastian. Sistem dan kondisi masyarakat
seharusnya diperbaiki secara berbarengan. Menurut Paulo Freire belum pernah dalam
sejarah terjadi sebuah kekerasan yang dimulai oleh mereka yang tertindas. Bagaimana
mungkin masyarakat yang selalu tertindas menjadi perintis, jika mereka sendiri yang
menjadi hasil dari kekerasan tersebut.
PKI dan Ketertindasan: Holocaust Terhadap Pki
Sudah beberapa tahun ini tidak ada lagi tayangan yang mengerikan, tayangan
yang menyuguhkan ke publik tentang setan-setan merah ‘PKI’ yang melakukan
tindakan biadab terhadap para jenderal dan dituding sebagai biqot pancasila. Akankah
ini pertanda bahwa ‘PKI’ telah diampuni? Tanggal 30 September tiap tahunnya--pada
masa Soeharto--tayangan ‘film’ G30 S/PKI selalu hadir dalam TV dan menemani
masyarakat di Nusantara. Inilah potret bagaimana sejarah diwariskan pada generasi
muda. Pada masa soeharto berkuasa di negeri ini, hampir di setiap tanggal 30
September ‘film’ G30 S/PKI ditayangkan dan menjadi ritualitas politik. Makanya tidak
belebihan, jika film ini menyamai rating sinetron yang disukai oleh masyarakat
Indonesia, faktanya ketika 30 September menjelang mayoritas masyarakat akan
nongkrong di depan TVRI dan mengkhidmati film tragedi kemanusiaan ini. Tragedi
kemanusian yang disebakan oleh PKI yang telah menelan banyak korban dan
kemudian korban itu diabadikan sebagai pahlawan revolusi, jamak ditentang secara
global oleh siapa pun. Jelaslah, kekerasan adalah hal yang tidak bisa diterima untuk
alasan apa pun. Maka PKI dengan kesalahannya harus rela dihapus dari konstelasi
politik nasional. Dan untuk mengenang keblinger-an ‘PKI’ ini, 1 Oktober dijadikan hari
kesaktian Pancasila, walaupun bisa dikategorikan sebagai ‘mitos’, namun Hari
Kesaktian Pancasila cukup ampuh untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. Tidak
cukup itu saja, hukuman untuk PKI diakumulasi dengan perlakuan yang diskriminatif
terhadap ‘anak pinak PKI’, tidak boleh menjadi pegawai negeri, dan sampai dengan
pencabutan Hak atas akta kelahiran. Maka rentetan demi rentetan kebencian yang
ditanamkan oleh rezim soeharto atas PKI bermutasi menjadi holocaust yang setara
dengan holocaust yang diciptakan oleh PKI dalam kudeta revolusinya.
Harus diakui tanpa mahasiswa, tanpa ABRI dan tanpa rakyat,‘PKI’ tidak akan
mampu dipunahkan dari bangsa yang beradab ini, walaupun hanya sebuah ‘ilusi’,
namun tintel bangsa yang beradab telah terlanjur melekat ditengah-tengah ketidak
beradaban sebuah bangsa. Maka jejak-jejak ‘PKI’ mau tidak mau harus dihapus dari
kehidupan bangsa. Mungkin kita masih ingat dengan ‘TRITURA’ dan salah satu
pointnya ‘hapuskan PKI’, sungguh gema ‘penghapusan PKI’ setara dengan tuntutan
penurunan harga kebutuhan bahan pokok. Dalam konteks ini, kekuatan informasi lah
yang mampu melembagakan ‘kebencian’ terhadap bigot seperti PKI, hingga
‘kebencian’ terhadap PKI pada masa itu setara dengan kebencian terhadap
melambungnya harga kebutuhan pokok.
Soeharto terbilang penguasa yang sukses memangkas dan membasmi PKI,
dengan seperangkat kebijakan, seperti, ideologisasi bahwa ‘PKI’ adalah pengkhianatan
terhadap Pancasila. Maka di sekolah-sekolah buku-buku pelajaran sejarah dikaburkan
sebagai ‘ideologisasi’ kebencian terhadap PKI. Tidak hanya itu, seperangkat Tap MPR
tentang pelarangan PKI ditelurkan sebagai upaya membasmi PKI sampai ke akarakarnya.
Untuk membenci ‘PKI’ memang banyak alasan yang direduksi. Kebiadaban
yang dilakukan oleh PKI, kemudian ajaran PKI yang diklaim secara membabi buta
bertentangan dengan Islam adalah alasan-alasan besar dibalik ‘kebencian’ terhadap
PKI. Kebiadaban PKI minsalnya, dilihat sebagai justifikasi untuk pembrendelan secara
subversif terhadap buku-buku yang beraroma komunisme. Bahkan para pemikir yang
mengawinkan metodologi komunisme dalam khazanah pemahamannya, tidak luput
juga dari ‘kambing hitam’ sebagai antek-antek komunisme, seperti halnya Pramoedya
Anata Toer yang diasingkan ke Digul karena hanya mengkritis penguasa dengan
pendekatan ala Marxisme. Rangkaian demi rangkaian yang digubah oleh penguasa
untuk menanamkan kebencian terhadap ‘PKI’, tidak lain adalah legitimasi atas
kekuasaan yang dibangun dengan politik pencitraan. Maka dapat dipahami, semua
‘kebencian’ yang direduksi ini adalah politis dan sepenuhnya ditujukan untuk legitimasi
kekuasaan.
Kebiadaban pasca G30 S/PKI.
PKI memang salah, PKI memang ‘keblinger’, dengan rangkaian tindakan
kekerasan yang dipertontonkan hanya untuk kekuasaan. Maka kini ‘anak-pinak PKI’
terpaksa menanggung penderitaan yang luar biasa. Pengucilan, perlakuan diskriminatif
atas hak politik dan atas hak untuk mendapat pekerjaan harus ditanggung sebagai
konsekwensi sejarah yang diperlakukan secara tidak ‘adil’ terhadap putra-putra PKI.
jika, kita mau membuka mata dan pikiran secara sehat. Maka sejarah akan berkata
lain, ada banyak holocaust balasan yang diciptakan untuk para kader-kader PKI. Dan
sampai hari ini, tidak banyak masyarakat yang mengetahui perihal Holocaust yang
terjadi besar-besaran di pulau Bali dan Bali seketika, dijadikan sebagai ladang
‘pembantaian’ untuk kader-kader PKI. kenapa ini tidak pernah disungguhkan ke publik
sebagai sebuah sejarah kelam bangsa yang lebih kejam dibanding dengan tragedi G30
S/PKI?.
Kebiadaban memang cenderung dibalas dengan kebiadaban yang lain, dan ini
mengambarkan watak primitif sebuah bangsa. Ketika PKI membantai para jenderal,
maka balasannya semua kader-kader PKI, GERWANI dan semua yang berhubungan
dengan PKI akan dibantai secara kejam. Kebiadaban ini, dilupakan begitu saja. Dan
hanya segelintir tokoh yang menguraikan dan memaki kebiadaban ini secara terbuka.
Soe Hok Gie dalam hal ini, telah menelanjangi kekejaman yang dilakukan atas kaderManifesto
kader PKI dalam sebuah opininya yang bertajuk “di sekitar peristiwa pembunuhan
besar-besaran di pulau Bali” dan dimuat di media mahasiswa pada 1967. Soe Hok Gie
telah membukakan mata dunia, bagaimana Bali dipersiapkan sebagai ladang
pembantaian untuk kader-kader dan simpatisan PKI.
Dipermulaan tahun 1966, ketakutan dan ketiadaan harapan menyergap
Kader-kader PKI dan klimaksnya kader-kader ini menyerah tanpa melakukan
perlawanan sedikit pun, maka sikap ‘nrimo’ diperlakukan seperti apa pun menjadi
sebuah pilihan kader-kader PKI. Pilihan ini terjadi, ketika mass terror diperlakukan
berkepanjangan, hingga ketakutan akan mudah menyerang kelompok yang diteror
secara ajeg dan akhirnya menyerahkan diri tanpa syarat. Strategi ini telah dipraktekan
oleh Stalin di Rusia dalam menebar ‘ketakutan’ pada lawan-lawan politiknya.
Kekejaman yang tidak lumrah bagi bangsa yang membangun budaya demokrasi,
namun sejarah ketika itu dikaburkan, maka pembantaian terhadap kader-kader PKI
menjadi hal yang lumrah.
Soe Hok Gie, dalam sisi yang lain juga telah melihat dengan jeli ‘bagaimana
Pembantaian terhadap PKI’ juga didalangi oleh elit-elit yang sepaham dengan PKI
yang berupaya membersihkan diri, dengan menghasut rakyat membantai kader-kader
PKI. Maka, proses ‘self washing’ menjadi pilihan elit-elit PKI yang berkhianat ini.
Dipenghujung tahun 1965 dan diawal tahun 1966, tentara-tentara partikelir
dengan seragam hitam dan bersenjatakan golok, pedang, telah melakukan tindakantindakan
pembantaian, pembakaran terhadap rakyat yang terlibat PKI. ini dilegalkan
sebagai tindakan yang sah dan dinamai dengan proses ‘warming up’ yang ditujukan
untuk pembersihan, mirip dengan ‘genocide’ yang dilakukan di Ruwanda, Rusia.
Namun ironis ini malah dilakukan kepada sesama bangsa sendiri. Tiga Bulan saja Bali
telah berubah menjadi neraka penyembelihan, dan tidak tertutup kemungkinan
penyembelihan anak bangsa ini juga dilakukan di daerah-daerah lain di Nusantara,
sebab ‘kebencian’ terhadap PKI waktu itu telah mencapai ubun-ubun kepala dan
diledakkan dalam bentuk tindakan-tindakan kekerasan.
Dapat dibayangkan bagaimana holocaust terjadi ketika tokoh-tokoh besar,
seperti Wedagama seorang tokoh PNI menghasut rakyat untuk membunuh PKI dan
sampai-sampai mengatakan itu adalah tindakan yang dibenarkan oleh Tuhan dan
dilegalkan secara hukum. Maka, pembantaian dan pemerkosaan atas GERWANI pada
waktu itu dianggap sebuah kebanggaan. Siapa yang bertanggung jawab atas
pengkaburan sejarah ini?[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar